Rabu, 21 September 2016

GUMPALAN DI DADAMU ITU APA

Sebenarnya bukan si budi yang ga mampu bersungkem santun, dapet nilai bagus, ga pernah terlambat, dll. Tapi udah sejauh mana pak guru berani dengan jujur mengakui ketidakberdayaannya sebagai guru, saat memposisikan si budi dipuncak tertinggi untuk harapannya dimasa depan.

Jelas prihatin jika gaya feodal hari ini masih digunakan untuk memperlakukan si budi saat menerima hukuman. Hukuman hanya hukuman tanpa penjelasan yang jelas, tentu saja sangat sulit untuk budi pahami. Sedangkan pak guru merasa leluasa menunjukkan statusnya sebagai guru saat menghukum si budi. Sementara realitas perubahan jaman harus juga budi hadapi, aturan yang tidak berupa aturan ternyata ada di urat nadinya "gumam budi".

Si budi itu memang masih ceroboh, egois dan penuh semangat. Sudah waktunya pulang sekolah pun si budi masih ingin berada di sekolah, ya apalagi kalo bukan bermain. Walau kerapkali over dalam proses penyempurnaan identitas jati dirinya, tapi si budi berharap untuk tidak dihukum.

Seperti biasa, hari minggu pak guru libur. Si budi tetep ke sekolah mengenakan pakaian biasa dan tetap bersepatu. Dia berteman baik dengan anak penjaga kantin di sekolah itu. Sesekali mereka mengintip sambil memanggil-manggil kedalam kelas kosong melalui kaca jendela yang tak sengaja ia pecahkan dengan lidahnya. Si budi berteriak-teriak "Pak guru jangan hukum budi dong, kalo berani hukum aja tuh kepala sekolah", mereka berdua pun tertawa.

Hahaha, ok lanjut !
Pak guru juga manusia, apalagi muridnya. Pak guru seharusnya lebih memposisikan si budi sebagai penyambut utama estapeta perjuangannya dengan lebih menanamkan rasa percaya diri, bukan malah membunuh karakternya dengan nilai-nilai feodalisme yang jelas-jelas barbar. Ini bukan tentang guru yang galak ketika muridnya melakukan kesalahan fatal. Tapi banyak juga guru-guru yang angkuh dan sok hirarki, seolah-olah tidak memandang penting muridnya, dll.

Sikap feodal itu memiliki kecenderungan jahiliyah yang kuat dan bersifat ingin di pertuan, dsb. Tentu saja si budi bingung menghadapi situasi dan kondisi yang begitu.

Si budi terdiam, hatinya mulai bertanya-tanya "mengapa pak guru tidak bisa untuk tidak menghukumnya?", "bukankah pak guru adalah pak guru yang pintar?, gerutunya".

Pak guru benar-benar berada dipersimpangan yang sangat menyebalkan bagi si budi, yang lebih memilih untuk tidak memaafkan muridnya.

Hingga akhirnya, dalam keputus-asaan yang mendalam pak guru pun menuduh si budi sebagai generasi "rock`n roll". Mungkin agar dikemudian hari lebih mudah menyalahkannya lagi dan lagi, agar terasa lebih halal saat menghukumnya.

Teman si budi pun berbisik "pak guru mungkin lupa, bukankah budi terlahir ke dunia ini untuk meneruskan dan untuk mewujudkan cita-cita pak guru, pak guru sebelumnya, pak guru sebelumnya lagi, dan pak guru-pak guru yang sebelum-sebelumnya". Si budi pun mengangguk, tanda bersemangat.

Selamat berjuang budi-budi kecil, tetap hormati pak gurumu dan teruslah mengintip dan berteriak-teriak di kelas yang kosong. Teruslah meneruskan perjuangan pak guru, walau pun pak gurumu telah menuduhmu sebagai generasi rock`n roll.

Bukankan kita sudah sama-sama belajar, bahwa sebesar apapun lingkaran yang ada di jagad raya ini dan sekecil apapun lingkaran di dunia ini tetap saja luas lingkarannya sama-sama 360 derajat.

Biarlah pak guru masih ingin tampak lebih besar darimu yang kecil.
Adiknya Wati, si budi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar