Sabtu, 24 September 2016

DRAMATURGI DALAM ISLAM

"Ini perjuangan bukan persaingan", tapi kyaknya mending dibalik ya "ini persaingan bukan perjuangan".

Ok, siap!
Logika tak lagi menjadi pijakan penting dalam standaritas berpikir sebagian orang kontemporer. Manusia tak lagi memandang penting isi kepala sebagai capaian yang luhur. Sebagian orang lebih menganggap penting sikut dari pada otak, sikut-sikutan menjadi tren yang digandrungi sebagian orang saat ini.

Pendidikan nomor 100, yakinlah pada fitnah karna fitnah jauh lebih ampuh, lebih efektif dan efisien dalam praktek menghakimi lawan. Bukan hanya untuk itu saja, fitnah pun menjadi pilihan gokil untuk menghianati teman sepiring berdua, segelas berdua, dan sebatang berdua.

Budi perkerti,-
Apa itu budi pekerti? Ok, kalo gitu gw kutipin aja ya, agar lebih dapet gregetnya, inget! gw kutip bukan gw "copy paste", karna budaya "copas" ga gw banget!!

Budi pekerti terdiri dari dua kata yaitu Budi dan Pekerti. Budi disini bukan Budi adiknya Wati ya!, tapi Budi yang berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran, pekerti berarti kelakuan. Secara etimologi Jawa, budi berarti nalar, pikiran atau watak. Sedangkan pekerti berarti penggawean, watak, tabiat atau akhlak.

Kesadaran dalam berperilaku, kesetiaan yang didasari oleh kesadaran dalam sebuah hubungan baik dengan atau tanpa komitmen, apapun itu.

Loe pernah denger menjilat?
Bukan menjilat oreo cuy! yang gw maksud budaya menjilat. Penjilat biasanya lebih cerdik, terutama dalam hal tipu muslihat. Setor muka sang bawahan ke atasan, lebih giat dan tampak rajin saat ada atasan, atasan ga ada ya leyeh-leyeh lagi.

Hal-hal yang begitu itu, jelas merupakan praktik kepalsuan diri. Merasa cerdik dengan topeng-topeng bahlul yang akhirnya merubah sisi manusia menjadi karakter iblis. Bukan tidak baik ketika seseorang bisa bermain peran, justru itu sangat baik dan penting untuk dikembangkan. Untuk apa? ilmu peran itu sangat penting untuk akulturasi, asimilasi, adaptasi, meniru, bahkan elaburasi dan kolaburasi pun masuk sebagai pembelajaran dinamis-praktis.

Proses meniru itu penting, bahkan sangat penting dalam hal apapun selama tidak ada unsur yang merugikan. Bahkan dunia modern memberikan ruang khusus untuk ilmu meniru, ilmu peran, ilmu teater, ilmu drama.

Ok kalo gitu gw kutipin lagi nih,-
Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation of Self in Everyday Life".

Dalam proses kehidupan manusia, khususnya dalam agama islam. Ribuan tahun sebelum buku itu terbit, Rosululloh Muhammad s.a.w merupakan nabi yang sangat memahami dan menguasai konsep tersebut. Misalnya, "Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang paling dewasa menjadi imam.”(HR.Bukhari no.6705, Ad Darimi no.1225) Kitab 9 Imam.

Betul kan!! kalo ternyata Rosulullah pun mengajarkan kita untuk meniru, membagi peran, berteater-dramaturgi. Kita diajarin agar kita meniru shalatnya, meniru apapun yang baginda rosululloh contohkan. Jangan salah paham ya, gw cuma memberikan analogi dan mengapresiasi. Loe juga jangan maen telen aja, kalo ntar loe jadi antagonis tulen, gimana?!

Ilmu peran itu kalo di pelajari dengan sungguh-sungguh, selain hasilnya bikin loe bisa bermain peran, loe juga bakal dapet dimensi lain khususnya melihat peran sebagai sutradara. Nah, kalo udah begitu hidup loe bakal lebih bijak. Kala loe lihat orang yang buruk budi pekertinya, berarti orang itu perannya antagonis. Kala loe lihat orang yang budi pekertinya baik, berarti orang itu perannya protagonis. Kala loe lihat orang yang perilakunya konyol dan kocak berarti dia sedang dagelan.

Satu lagi, kalo loe lihat orang yg suka ngomong sendiri kyak gw gini berarti gw sedang monolog, hahaha.

To be continue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar